Tahun pelajaran 2008/2009 sudah diambang pintu. Kesibukan orang tua yang akan memasukkan anaknya kejenjang sekolah yang lebih tinggi setelah lulus mulai bermunculan. Tak pelak lagi perhitungan biaya masuk kesekolah yang diinginkan anaknya menjadi bahan pertimbangan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi beban bagi orang tua. Hampir tiap tahun, sebagian orang tua yang mempunyai penghasilan pas – pasan selalu menggadaikan hartanya di kantor penggadaian. Hal ini dilakukan agar anaknya dapat bersekolah di sekolah yang baik dan bermutu. Tidak sedikit orang tua yang gagal memasukkan anaknya kesekolah yang baik dan bermutu. Hal ini disebabkan kekurangan biaya. Sungguh ironis, di negara yang mempunyai komitmen pada dunia internasional dengan turut menandatangani penjanjian “Pendidikan Untuk semua”, masih ada rakyatnya yang tidak dapat bersekolah hingga kejenjang yang lebih tinggi.
Setiap warganegara mempunyai hak atas pendidikan. Terutama pada pendidikan dasar. Pemerintah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan berkualitas dan gratis. Yang demikian telah tertuang dalam Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Apalagi di dalam pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa alokasi untuk sektor pendidikan paling sedikit sebesar 20 % dari total APBN dan APBD. Sekolah yang menjadi garda terdepan dalam pendidikan untuk mencetak anak bangsa, dituntut untuk memberikan pelayanan yang tebaik dan bermutu melalui proses pembelajaran. Di dalam mencapai keberhasilan tersebut, sekolah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya beban biaya pendidikan selalu menjadi tanggung jawab orang tua. Walaupun kita mengetahui kenyataan yang terjadi adalah masih adanya gedung sekolah yang tidak layak pakai, kualitas guru yang masih buruk serta pelayanan pendidikan yang masih buruk. Kurangnya sekolah mensosialisasikan pembiayaan di sekolah yang tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) kepada orang tua, mengakibatkan bertambah buruknya institusi pendidikan (sekolah) dengan bertambah tingginya biaya pendidikan.
Sekolah sebagai lembaga umum,harus membuka ruang kepada warga yang ingin mengetahui secara jelas dan detail tentang kondisi sekolah. Baik kondisi sarana dan prasarana, sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan), manajemen dan kondisi laporan keuangan. Salah satu bentuk keterbukaan itu adanya dokumen Rancangan anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Setiap sekolah baik negeri maupun swasta, di awal tahun pelajaran selalu membuat RAPBS. Setelah RAPBS disetujui oleh Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan), maka pembiayaan sekolah dalam 1 (satu) tahun direalisasikan penggunaannya dalam APBS. APBS merupakan rumusan pendanaan bagi pelaksanaan kegiatan sekolah dalam 1 (satu) tahun yang menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah, sekolah dan masyarakat, sekaligus menjadi perwujudan amanah orang tua siswa dalam penyelengaraan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Tidak banyak warga yang mengetahui RAPBS / APBS. Kondisi real yang terjadi saat ini adalah hampir 99 % warga sekolah tidak tahu dan paham tentang RAPBS maupun APBS. Hal ini tejadi dikarenakan beberapa hal antara lain ; (1) Sekolah tidak pernah mensosialisasikan kepada orang tua dan guru tentang RAPBS dan APBS ; (2) Sekolah tidak pernah mengajak orang tua maupun guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan RAPBS atau APBS ; (3) Komite sekolah hanya menjadi kepanjangan tangan sekolah untuk menyetujui RAPBS maupun APBS yang telah dibuat oleh sekolah ; (4) Pembuatan RAPBS maupun APBS selalu mengacu pada angaran tahun sebelumnya (copy paste) ; (5) sekolah tidak mempunyai program kerja yang tersusun secara sistematis. Permasalahan inilah yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan dalam biaya pendidikan. Ditambah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam menajemen keuangan. Sehingga sekolah seringkali memungut biaya sekolah di luar dari APBS yang telah disepakati. Bentuk biaya yang sering dipungut sekolah di luar APBS, antara lain : bimbingan belajar, perpisahan, pembuatan foto, pentas seni, peringatan hari besar, pilihan bebas (olah raga), prakarya, study tour, dll.
RAPBS / APBS dibuat untuk menentukan prioritas kebijakan pendidikan di sekolah melalui besar alokasinya. Sekaligus menetapkan tujuan pendapatan maupun pengeluaran yang didasarkan atas beban kerja dan harga satuan yang termaktub dalam program kerja sekolah. Sekolah yang menyusun RAPBS / APBS sebagai rencana terpadu yang menyangkut soal dana (uang) untuk merealisasikan program kegiatan sekolah, mempunyai kewajiban untuk mengajak para warga sekolah terutama orang tua murid dan guru untuk berpartisipasi dalam penyusunan RAPBS / APBS. Partisipasi di sini adalah keterlibatan anggota masyarakat atau warga sekolah untuk saling mempengaruhi dalam suasana untuk menginisiasi perubahan. Sehingga dapat mengambil inisiatif atas prakarsa sendiri di luar kehendak institusi, untuk merubab system. Dalam penyusunan RAPBS /APBS memang tidak serumit menyusun APBN atau APBD, tetapi tetap memerlukan beberapa aspek hukum, ekonomi serta sosial. Dan tak kalah pentingnya adalah asa transparansi, demokratis dan akuntabilitas, harus menjadi standar dalam pembuatan RAPBS / APBS. Penyusunan RAPBS / APBS yang melibatkan warga sekolah sangat menguntungkan semua pihak. Khususnya orang tua murid. Selain mereka mengetahui dan memahami RAPBS / APBS, mereka juga dapat memonitoring penggunaan anggaran secara berkelanjutan. Sedangkan keuntungan yang didapat oleh sekolah adalah ; (1) Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan semakin tinggi ; (2) Daya beli masyarakat terhadap sekolah tersebut akan semakin banyak ; (3) Sekolah akan memiliki sumber daya manusia (guru dan tenaga kependidikan) yang berkualitas ; (4) Bisa menjadi sekolah percontohan atau sekolah model dalam mengimplementasikan RAPBS / APBS partisipatif ; (5) Meminimalisir terjadinya korupsi yang ada di tingkat sekolah. RAPBS / APBS partisipatif dapat dilaksanakan jika berbagai pihak khususnya sekolah, masyarakat dan pemerintah daerah (dinas pendidikan) dapat kooperatif dalam menjalankan program RAPBS / APBS partisipatif ini.
Keterbukaan anggaran melalui RAPBS / APBS partisipatif harus dilaksanakan dan dikembangkan. Mengingat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang. Yang hasilnya akan dinikmati oleh anak bangsa dikemudian hari. Diperlukan keinginan yang kuat untuk semua itu. Pemerintah maupun pemerintah daerah jangan lagi menjadikan warga sebagai objek sekaligus korban kebijakan dari mahalnya biaya pendidikan. Oleh karena itu penting adanya upaya untuk memperkuat posisi warga dalam pendidikan. Pembuatan RAPBS / APBS secara partisipaitf merupakan salah satu langkah untuk menguatkan posisi warga. Jika yang demikian ini bisa di jalankan dengan baik. Para warga pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan akan berkata “Lihatlah 5(lima) tahun kedepan pendidikan kita akan diisi oleh muka – muka ceria anak bangsa yang tidak lagi memikirkan biaya pendidikan dan sekolah – sekolah selalu tebuka untuk orang kaya dan miskin”. Mudahan – mudahan hal ini akan terealisasi .!